Kalimat yang terucap dari Rasulullah
Saw adalah jaminan yang tidak ada jaminan setelahnya. Itulah sifat
shidiq (jujur dan benar) yang dimiliki para nabi, tidak pernah berubah
sama sekali.
Suhail bin Amru datang sebagai delegasi
Qurays menemui Rasulullah Saw dan para sahabatnya di Hudaibiyah pada
Dzulqa’dah tahun keenam hijriyah. Kedatangan Suhail inilah yang
menyebabkan Rasul Saw dan para sahabatnya batal memasuki kota Makkah
ketika itu.
Dalam salah satu butir Perjanjian
Hudaibiyah disebutkan, Muhammad harus mengembalikan kepada Qurays orang
yang pergi ke tempat kaum Muslimin tanpa seizin walinya dan mereka tidak
dituntut mengembalikan pengikut beliau yang pergi ke Qurays.
Syarat ini mengagetkan para Sahabat Nabi
Saw, termasuk Umar bin Khaththab ra. Sehingga ia pergi menemui Abu Bakar
dan Rasulullah Saw seraya mengingatkan, ‘Bukankah kita Muslimin!
Bukankah mereka musyrikin! Bukankah engkau Rasulullah! Untuk apa kita
berikan kerendahan pada agama kita?’ Maka Rasulullah Saw bersabda, “Aku
adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, tidak akan menyalahi perintah-Nya dan
Dia tidak akan menyia-nyiakan Aku.’ Abu Bakar berkata, ‘Aku bersaksi
sesungguhnya dia utusan Allah.’
Penerimaan kaum Musimin pada syarat ini
adalah menyerahnya mereka pada perkara yang belum diketahui rahasianya.
Dan hal itu menjadi ujian terbesar bagi kesabaran mereka.
Belum lagi ketika mereka dalam keadaan
bersitegang dan Rasulullah Saw selesai bernegoisasi dengan delegasi
Qurays, yakni Suhail bin Amru, tetapi perjanjian belum ditulis dan belum
selesai, tiba-tiba datanglah kepada mereka Abu Jandal. Ia datang
sembari berteriak, berjalan tertatih-tatih dengan kaki terbelenggu.
Abu Jandal adalah putra Suhail bin Amru.
Begitu melihat anaknya, Suhail beranjak ke arahnya dan mengambil rantai
belenggunya seraya berkata, “Wahai Muhammad, persoalan antara aku dan
engkau telah mengerucut, artinya negoisasi telah selesai sebelum
datangnya anak ini,!” Nabi menjawab, “Engkau benar.” Maka Abu Jandal pun
berteriak memanggil-manggil kaum Muslimin, ‘Apakah aku akan
dikembalikan kepada Musyrikin yang merusak agamaku?’
Kita bisa bayangkan sikap itu, keberanian
Nabi Muhammad Saw yang tiada bandingannya. Beliau orang kuat yang saat
itu keluar dari Madinah dengan 1400 orang sahabatnya. Lalu sekarang
beliau melihat sahabatnya datang dalam kondisi tersiksa, terbelenggu dan
tertatih-tatih padahal di kalangan Qurays ia termasuk orang terpandang.
Abu Jandal dibelenggu karena ikut Muhammad Saw dan ikut agamanya.
Namun demikian, Rasulullah Saw tidak
goyah dan tidak ragu sedikitpun dengan apa yang telah disepakati dalam
perjanjian. Beliau menegaskan kepada Suhail, ”Kau benar, persoalan telah
selesai.’ Dan beliau pun kemudian mengembalikan sahabatnya itu dalam
keadaan menangis kepada musuhnya. Inilah keteladanan yang diberikan Nabi
Muhammad Saw dalam menjaga dan menepati perkataan yang telah ia katakan
meskipun belum ditulis dan belum selesai.
Pada peristiwa yang sama dalam butir
perjanjian lainnya juga disebutkan, siapa saja bisa masuk dalam akad dan
janji (bersekutu) dengan Muhammad dan siapa saja bisa masuk dalam akad
dan janji dengan Qurays. Kemudian masuklah Bani Khuza’ah dan sekutunya
pada akan dan janji Muhammad Saw serta menjadi sekutu beliau, sementara
Bani Bakar bersekutu dengan Qurays.
Ketika pada akhirnya Qurays membantu
sekutunya, Bani Bakar, menyerang Khuza’ah, maka datanglah Amru bin Salim
al-Khuza’i menagih janji Rasulullah Saw dan meminta beliau menolong
kaumnya. Amru bersumpah di hadapan Rasulullah Saw yang saat itu berada
di Masjid, ia meratap dan mengatakan,
‘Wahai Tuhan, aku meratap pada Muhammad
Sekutu ayah kami dan ayahnya yang sangat erat.
Tolonglah (Muhammad),
Allah menunjukkanmu kemenangan pasti.
Ajaklah hamba-hamba Allah, mereka pasti datang memberi bantuan.
Dalam gelombang pasukan seperti samudera,
Yang berjalan berbuih-buih.
Sesungguhnya Qurays mengingkari kanji padamu
Dan merusak perjanjianmu yang telah dikuatkan.
Permintaan itu pun dipenuhi, Rasulullah
pun menyiapkan 10 ribu pasukannya. Maka, serangan Qurays terhadap Bani
Khuza’ah inilah yang pada akhirnya menjadi jalan bagi umat Islam untuk
menaklukkan Kota Makkah. Inilah contoh dari kejujuran dan kesetiaan
Rasulullah dalam menepati janji dan perjanjian. Tidak pernah terjadi
sekalipun ketika Rasulullah Saw berjanji atau membuat perjanjian lalu
beliau ingkar atau berkhianat.
Imam Bukhari meriwayatkan, ketika
Heraklius bertanya kepada Abu Sofyan tentang Rasulullah Saw, “Apakah ia
berkhianat?” Abu Sufyan menjawab, “Tidak.” Setelah itu Heraklius
mengatakan, “Aku tanyakan kepadamu apakah ia berkhianat, maka kalian
anggap bahwa ia tidak berkhianat, memang seperti itulah seorang rasul,
ia tidak berkhianat.”
Sumber : suara-islam.com
0 Response to " Kejujuran Rasulullah Dalam Menepati Janji "
Post a Comment